BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aktivitas
pertambangan PT Freeport McMoran Indonesia (Freeport) di Papua yang dimulai
sejak tahun 1967 hingga saat ini telah berlangsung selama 42 tahun. Selama ini,
kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua, telah mencetak keuntungan
finansial yang sangat besar bagi perusahaan asing tersebut, namun belum
memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua, dan masyarakat lokal di sekitar
wilayah pertambangan.
Dari tahun ke
tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga
terbesar di dunia. Para petinggi Freeport terus mendapatkan fasilitas,
tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan
tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan
kesejahteraan bagi warga sekitar. Kondisi wilayah Timika bagai api dalam sekam,
tidak ada kondisi stabil yang menjamin masa depan penduduk Papua.
Penandatanganan
Kontrak Karya (KK) I pertambangan antara pemerintah Indonesia dengan Freeport
pada 1967, menjadi landasan bagi perusahaan ini mulai melakukan aktivitas
pertambangan. Tak hanya itu, KK ini juga menjadi dasar penyusunan UU
Pertambangan Nomor 11/1967, yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan
berselang setelah penandatanganan KK.
Pada Maret
1973, Freeport memulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan yang selesai
ditambang pada tahun 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter. Pada
tahun 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang
masih berlangsung saat ini. Dari eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7,3
juta ton tembaga dan 724, 7 juta ton emas telah mereka keruk. Pada bulan Juli
2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4 kilometer pada daerah
seluas 499 ha dengan kedalaman 800m. Diperkirakan terdapat 18 juta ton cadangan
tembaga, dan 1.430 ton cadangan emas yang tersisa hingga rencana penutupan
tambang pada 2041.
Aktivitas
Freeport yang berlangsung dalam kurun waktu lama ini telah menimbulkan berbagai
masalah, terutama dalam hal penerimaan negara yang tidak optimal, peran
negara/BUMN untuk ikut mengelola tambang yang sangat minim dan dampak
lingkungan yang sangat signifikan, berupa rusaknya bentang alam pegunungan
Grasberg dan Erstberg. Kerusakan lingkungan telah mengubah bentang alam seluas
166 km persegi di daerah aliran sungai Ajkwa.
Keberadaan Freeport sejak kontrak karya
ke-satu ilegal dalam transparansi dan ketetapan pajak bagi negara. Hasil
Freeport baru diketahui secara resmi dan diatur dalam Undang-undang negara
Indonesia sejak kontrak karya ke-2. Nah, Kontrak karya pertama Freeport tahun
1967 sesungguhnya fiktif.
Indonesia sudah rugi sejak Freeport masuk. Sekarang pun tetap rugi karena konstitusi Negara mendukung emas dibawa ke Amerika dan negara Lainya di dunia.
Indonesia sudah rugi sejak Freeport masuk. Sekarang pun tetap rugi karena konstitusi Negara mendukung emas dibawa ke Amerika dan negara Lainya di dunia.
Pemerintah
sibuk dengan kasus-kasus keamanan perusahaan di Papua, sedangkan ekonomi bangsa
terabaikan. Agar bangsa ini dapat merefleksikan bagaimana solusi terbaik bagi
Papua dan tentunya martabat bangsa Indonesia di ukur sejak penanganan kasus
semacam Freeport diPapua. Dengan cadangan 25 milyar pon tembaga, 40 juta ons
emas dan 70 juta ons perak, nilainya sekitar 40 milyar dollar AS berdasarkan
harga berlaku. Freeport diberikan jaminan untuk bekerja di lokasi pertambangan
untuk bertahun-tahun. Jika menemukan tambahan kekayaan mineral di atas 4,1 juta
hektar di tanah sekitarnya akan menjadi hak eksklusif Freeport.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini
adalah sebagai berikut :
a. Apa masalah yang ada
d PT.Freefort?
b. Kenapa terjadinya
Kontrak Karya yang Merugikan dari Generasi ke Generasi?
c. Sistem Audit pada PT.Freefort?
d. Sistem Rekrutmen pada
PT.freefrot?
1.3 Tujuan Penulis
Makalah ini dimaksudkan untuk
membahas :
a. Penjelasan
masalah yg terjadi di PT.Freefort.
b. Kontrak
Karya yang Merugikan dari Generasi ke Generasi
c. Sistem Audit pada PT.Freefort.
d. Sistem
Rekrutmen pada PT.freefrot.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Permasalahan di PT.FREEFORT
Freeport
mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, yang didalamnya
termasuk 50% cadangan emas di kepulauan Indonesia. Namun, sebagai hasil
eksploitasi potensi tambang tersebut, hanya sebagian kecil pendapatan yang yang
masuk ke kas negara dibandingkan dengan miliaran US$ keuntungan yang diperoleh
Freeport. Kehadiran Freeport pun tidak mampu menyejahterakan masyarakat di
sekitar wilayah pertambangan, namun berkontribusi sangat besar pada
perkembangan perusahaan asing tersebut.
Pada tahun 1995
Freeport baru secara’resmi mengakui menambang emas di Papua. Sebelumnya sejak
tahun 1973 hingga tahun 1994, Freeport mengaku hanya sebagai penambang tembaga.
Jumlah volume emas yang ditambang selama 21 tahun tersebut tidak pernah
diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri. Panitia Kerja Freeport dan
beberapa anggota DPR RI Komisi VII pun mencurigai telah terjadi manipulasi dana
atas potensi produksi emas Freeport. Mereka mencurigai jumlahnya lebih dari
yang diperkirakan sebesar 2,16 hingga 2,5 miliar ton emas. DPR juga tidak
percaya atas data kandungan konsentrat yang diinformasikan sepihak oleh
Freeport. Anggota DPR berkesimpulan bahwa negara telah dirugikan selama lebih
dari 30 tahun akibat tidak adanya pengawasan yang serius. Bahkan Departemen
Keuangan melalui Dirjen Pajak dan Bea Cukai mengaku tidak tahu pasti berapa
produksi Freeport berikut penerimaannya.
Di sisi lain,
pemiskinan juga berlangsung di wilayah Mimika, yang penghasilannya hanya
sekitar $132/tahun, pada tahun 2005. Kesejahteraan penduduk Papua tak secara
otomatis terkerek naik dengan kehadiran Freeport yang ada di wilayah mereka
tinggal. Di wilayah operasi Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di
bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dari limbah
Freeport. Selain permasalahan kesenjangan ekonomi, aktivitas pertambangan
Freeport juga merusak lingkungan secara masif serta menimbulkan pelanggaran
HAM.
Timika bahkan
menjadi tempat berkembangnya penyakit mematikan seperti HIV/AIDS dan jumlah
tertinggi penderita HIV/AIDS berada di Papua. Keberadaan Freeport juga
menyisakan persoalan pelanggaran HAM yang terkait dengan tindakan aparat
keamanan Indonesia di masa lalu dan kini. Ratusan orang telah menjadi korban
pelanggaran HAM berat bahkan meninggal dunia tanpa kejelasan. Hingga kini,
tidak ada satu pun pelanggaran HAM yang ditindaklanjuti serius oleh pemerintah
bahkan terkesan diabaikan.
A.
Pemiskinan di Papua
Kegiatan
penambangan dan ekonomi Freeport telah mencetak keuntungan finansial bagi
perusahaan tersebut namun tidak bagi masyarakat lokal di sekitar wilayah
pertambangan. Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari
tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Pendapatan utama Freeport
adalah dari operasi tambangnya di Indonesia (sekitar 60%, Investor Daily, 10
Agustus 2009). Setiap hari hampir 700 ribu ton material dibongkar untuk
menghasilkan 225 ribu ton bijih emas. Jumlah ini bisa disamakan dengan 70 ribu
truk kapasitas angkut 10 ton berjejer sepanjang Jakarta hingga Surabaya
(sepanjang 700 km).
Para petinggi
Freeport mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai
1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan
Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Di sisi
lain, negara pun mengalami kerugian karena keuntungan Freeport yang masuk ke
kas negara sangatlah kecil jika dibandingkan keuntungan total yang dinikmati
Freeport.
Keberadaan
Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat Papua, bahkan pembangunan
di Papua dinilai gagal. Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari
buruknya angka kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten
Mimika, lokasi di mana Freeport berada, terdiri dari 35% penduduk asli dan 65%
pendatang. Pada tahun 2002, BPS mencatat sekitar 41 persen penduduk Papua dalam
kondisi miskin, dengan komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada
tahun 2005, Kemiskinan rakyat di Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5
juta penduduk.
Hampir seluruh
penduduk miskin Papua adalah warga asli Papua. Jadi penduduk asli Papua yang
miskin adalah lebih dari 66% dan umumnya tinggal di pegunungan tengah, wilayah
Kontrak Karya Frepoort. Kepala Biro Pusat Statistik propinsi Papua JA Djarot
Soesanto, merelease data kemiskinan tahun 2006, bahwa setengah penduduk Papua
miskin (47,99 %).
Di sisi lain,
pendapatan pemerintah daerah Papua demikian bergantung pada sektor
pertambangan. Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50% lebih PDRB Papua berasal dari
pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil sumberdaya alam tidak terbarukan,
termasuk perusahaan migas. Artinya ketergantungan pendapatan daerah dari sektor
ekstraktif akan menciptakan ketergantungan dan kerapuhan yang kronik bagi
wilayah Papua.
Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) Papua Barat memang menempati peringkat ke 3 dari 30
propinsi di Indonesi pada tahun 2005. Namun Indeks Pembangunan Manusi (IPM)
Papua, yang diekspresikan dengan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita
karena masalah-masalah kekurangan gizi berada di urutan ke-29. Lebih parah
lagi, kantong-kantong kemiskinan tersebut berada di kawasan konsesi
pertambangan Freeport.
Selain itu,
situs tambang Freeport di puncak gunung berada pada ketinggian 4.270 meter,
suhu terendah mencapai 2 derajat Celcius. Kilang pemrosesan berada pada
ketinggian 3.000 m, curah hujan tahuan di daerah tersebut 4.000-5.000 mm,
sedangkan kaki bukit menerima curah hujan tahunan lebih tinggi, 12.100 mm dan
suhu berkisar 18-30 derajat Celcius. Dengan kondisi alam seperti ini, kawasan
di bawah areal pertambangan Freeport mempunyai tingkat kerawanan tinggi
terhadap bencana tanah longsor. Pada 9 Oktober 2003, terjadi longsor di bagian
selatan area tambang terbuka Grasberg, menewaskan 13 orang karyawan Freeport.
Walhi merelease longsor terjadi akibat lemahnya kepedulian Freeport terhadap
lingkungan. Padahal, mereka mengetahui lokasi penambangan Grasberg adalah
daerah rawan bencana akibat topografi wilayah serta tingginya curah hujan.
Jebolnya dam penampungan tailing di Danau Wanagon pada tahun 2000, menyebabkan
tewasnya empat pekerja sub-kontraktor Freeport. Terjadi longsor di lokasi
pertambangan Grasberg pada Kamis, 9 Oktober 2003.
B.
Kronologi Sosial-Ekonomi
Kegiatan
bisnis dan ekonomi Freeport di Papua selama ini, tak hanya mencetak keuntungan
finansial bagi perusahaan tersebut tetapi juga memantik munculnya masalah
sosial. Belum ada solusi yang dianggap efektif dalam penyelesaian masalah yang
muncul itu dan sewaktu-waktu berpotensi untuk meletup.
Berikut
disampaikan kronologi aspek sosial-ekonomi operasi Freeport:
16 Februari 1623. Kapten Jan Carstensz, seorang pelaut Belanda, melihat puncak gunung tertinggi di Irian, lalu mencatat dalam log book-nya. Inilah catatan pertama orang asing tentang Puncak Carstenz dan kelak menjadi daerah operasi PT Freeport Indonesia.
16 Februari 1623. Kapten Jan Carstensz, seorang pelaut Belanda, melihat puncak gunung tertinggi di Irian, lalu mencatat dalam log book-nya. Inilah catatan pertama orang asing tentang Puncak Carstenz dan kelak menjadi daerah operasi PT Freeport Indonesia.
C. PT. FREEPORT dengan Karyawan
Berbicara mengenai kesenjangan sosial dalam masyarakat,
merupakan pembahasan yang tidak akan pernah habisnya. Akan ada banyak hal
terkait dengan masalah sosial, karena berbagai hambatan pasti silih berganti.
Salah satu contohnya saat ini yang lagi memanas adalah konflik PT. Freeport
dengan para pekerja yang mandek kerja yang sebenarnya hanya meminta kenaikan
gaji dan masyarakat Papua yang butuh rasa aman dan nyaman.
Jika dikaitkan masalah ini dengan menggunakan teori sistem
menurut Katz dan Khan yang pernah menerangkan bahwa kebanyakan interaksi kita
dengan orang-orang merupakan tindakan komunikatif baik secara verbal dan
non-verbal. Komunikasi – pertukaran informasi dan tranmisi makna – adalah inti
dari sistem sosial atau organisasi. Komunikasi merupakan penghubung di antara
orang-orang dalam organisasi, dan komunikasi yang berjalan dengan efektif dan
tanpa mengalami hambatan yang berarti.
Adanya misscommunication antara Satpam PT. Freeport
Indonesia dan Polisi dengan pengaman dari PT Grup 4 Securicor yang mengenakan
perlengkapan keamanan lengkap, pada Rabu, 21 September 2011. Satuan pengamanan
bayaran tersebut yang keluar dari dalam terminal pekerja Gorong-gorong
bersitegang dengan Satpam dan Polisi yang berjaga-jaga. Menurut Wakil Komandan
Kepolisian Resor Mimika, Komisaris Polisi Mada Indra Laksanta, hanya terjadi misscommunication.
Mereka berniat membantu pengamanan tapi tidak ada komunikasi dan koordinasi.
Hari sebelumnya, 20 september malam, Kepala Bidang
Organisasi SPSI Freeport, Virgo Sollosa, menyampaikan pesan ke sejumlah
wartawan bahwa pihaknya mengidentifikasi ada beberapa mobil yang digunakan
untuk mengintimidasi pekerja yang melakukan aksi mogok kerja. Terkesan ada
upaya mempropaganda karyawan agar mau naik bekerja dan memancing emosional
karyawan yang sedang menggelar aksi agar terjadi konflik.
Analisa kasus di atas menampakkan bahwa adanya hubungan
kausal yang fundamental antara PT. Freepot dengan para karyawan berkaitan
dengan komunikasi yang tidak efektif, pertukaran dan penyebaran informasi yang
tidak terkoordinir, dan tidak adanya kesamaan tujuan dalam pencapaian kerja
organisasi, pihak perusahaan yang menginginkan karyawan berkerja dan keinginan
karyawan yang bertolak belakang dengan mengadakan aksi mogok kerja.
D. Konflik antara Freeport dan
Masyarakat Papua
Berbagai kekerasan yang terjadi di Papua semakin membuat
rakyat Papua sengsara. Langkah represif aparat kepolisian, justru semakin
membuat situasi mencekam. Polisi sebagai pengaman dan pelindung masyarakat
justru menjelma menjadi momok yang menakutkan serta menjadi musuh
masyarakat, dan seakan mati-matian menjaga dan melindungi kepentingan Freeport.
Berdasarkan pemahaman teori sistem adalah setiap
bagian berpengaruh pada keseluruhan atau sesuatu tidak dapat ada tanpa
keberadaan yang lain. Maka seluruh aspek harus diperhatikan atau dianggap
penting. Namun, seakan tidak mengindahkan sistem yang harus dilaksanakan oleh
kepolisian sebagai pengayom masyarakat dan beralih menjadi pengaman bayaran
dari pihak Freeport.
Jelas sekali ketika penyanyi asal Papua Edo Kondologit dalam
sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (1/11/2011). Menurut Edo, rasa aman di papua
menjadi barang yang mahal, karena tidak pernah diamankan oleh aparat di daerah
tersebut dengan baik.
Patut dipertanyakan peran negara dalam menjamin kehidupan
rakyatnya. Karena, selama ini sikap Pemerintah terkesan membiarkan berbagai
konflik yang terjadi di Papua. Keinginan dari rakyat Papua menurut Edo, hanya
hidup selayaknya, bisa cukup makan. Masih banyak masalah seperti kemiskinan,
kesehatan masih menjadi masalah utama di tanah Papua.
Bukan tidak mungkin jika pada akhirnya yang juga saat ini
banyak pemberontakan di Papua dilakukan oleh orang Papua yang memperjuangkan
kemerdekaan dan ingin memisahkan diri dengan Indonesia. Jika keadaan ini tidak
diperhatikan betul baik oleh Pemerintah, pihak Freeport, Kepolisian, dan
masyarakat.
Karena, adanya keinginan hidup yang layak mereka melakukan
aksi yang sebenarnya ingin mengajak Pemerintah untuk memperhatikan nasib rakyat
Papua. Serta mengubah cara pandang pemerintah pusat terhadap masyarakat Papua
perlu diubah. Selama ini rakyat Papua sering dipandang sebagai orang yang
memberontak dan pendukung tindakan separatisme. Bukan hanya meng-anak emaskan
Freeport dan mengesampingkan masyarakat Papua.
Perhatian yang harus dilakukan Pemerintah berhubungan dengan
cara pandang, adalah menganggap orang Papua sebagai anak bangsa yang tidak puas
terhadap kelakuan Pemerintah saat ini. Stigma ini yang harus diubah, agar orang
Papua tidak terus mengalami kekecewaan yang besar terhadap pemerintah.
Elemen-elemen
terkait
Elemen-elemen yang terkait dengan
Freeport antara lain :
- Pemerintah Pusat
- ESDM
- KEMENAKERTRANS
- DPR
- DPRD
- Gubernur
- Walikota
- Bupati
- TNI dan POLRI
- Buruh dan Masyarakat Papua
- LSM
- Negara lain yang terkait, Amerika, Australia, Inggris
Semua elemen-elemen tersebut merupakan keseluruhan yang
saling berkaitan dan saling mempengaruhi untuk pencapaian tujuan. Keseimbangan
antar berbagai sub sistem antara perusahaan dengan elemen-elemen yang ada di
sekitar Freeport. Namun, protes buruh dan masyarakat merupakan polemik saat ini
yang menandakan bahwa adanya dari elemen-elemen yang tidak berjalan dan
menyebabkan pencapaian tujuan menemui hambatan. Salah satu faktor yang nampak
ketidakadilannya adalah tempat tinggal masyarakat yang terkena limbah Freeport.
Tidak adanya ketegasan peraturan dan kontrol pemerintah menambah mandeknya
fungsi yang saling berkaitan dalam suatu sistem.
Sistem tertutup merupakan hambatan dalam perusahaan yang
melibatkan banyak buruh dan masyarakat Papua, Pemerintah dan Kepolisian pun
masih lebih dominan pada masalah OPM yang menginginkan berpisah dari NKRI dan
mendirikan Negara sendiri. Sehingga ini celah bagi para provokator yang
memanfaatkan kondisi yang ricuh ini untung mengais keuntungan.
Krisis internal dan eksternal yang terjadi sebenarnya dapat
diselesaikan dan seharusnya bisa diatasi jauh hari sebelumnya. Namun, seakan
ada kejanggalan dalam masalah ini. PT. Freeport tidak terelakkan mempunyai
strategi ketika terjadi kerusakan dalam fungsi elemen. Strategi penanganan
terkait kasus internal dan eksternal yang dapat digunakan oleh PT. Freeport
adalah lawan makna dari defensive strategy yang digunakan saat ini, yaitu
daptive strategy. Dimana perusahaan tidak lepas dari kelalaian dan kesalahan,
dan harus berani mengakuinya, serta mengambil resiko dengan melakukan
perubahan-perubahan.
Strategi
dalam masalah Internal
Koordinasi dan mediasi. Hubungan antara elemen harus
komunikatif , karena dengan komunikasi yang efektif koordinasi antar semua
elemen terkait dapat dimengerti dan tidak terjadi misscommunication dalam
perusahaan secara internal. Perusahaan juga harus mampu membangun dan mempertahankan
hubungan internal yang sangat bermanfaat antara perusahaan dan dan karyawan.
Seperti kenaikan gaji dan kesejahteraan karyawan yang menjadi penyebab utama
konflik, manajemen perusahaanlah yang harus mengidentifikasi masalah tersebut
melalui PR sebagai penghubung komunikasi dan menyelesaiakan dengan karyawan
agar tidak terjadi mogok kerja yang dapat merugikan perusahaan.
Strategi
dalam masalah Eksternal
Kerja sama antara perusahaan, pemerintah, dan masyarakat
merupakan kekuatan yang utuh dalam menjaga stabilitas pencapaian tujuan PT.
Freeport. Langkah yang pertama adalah merespon apa yang diinginkan oleh
masyarakat Papua dengan memberikan fasilitas-fasilitas kenyamanan komunikasi
seperti opini-opini yang disampaikan oleh masyarakat dapat ditampung dan
dicarikan solusinya agar tidak membengkak dan meledak pada saatnya, yang dapat
menghancurkan perusahaan nantinya.
Sehingga jika perusahaan responsif, maka pencitraan akan
lebih mudah diterima oleh masyarakat. Pentingnya pemerintah sebagai kontrol
juga harus dapat mengendalikan kenyamanan kedua belah pihak dalam pengambilan
keputusan. Selanjutnya jika semua berjalan dengan baik maka, program-program
yang dilancarkan oleh perusahaan dapat diterima semua kalangan.
2.2 Kontrak Karya yang Merugikan
dari Generasi ke Generasi
PT.Freeport memperoleh kesempatan untuk mendulang mineral di Papua melalui tambang Ertsberg sesuai Kontrak Karya Generasi I (KK I) yang ditandatangani pada tahun 1967. Freeport adalah perusahaan asing pertama yang mendapat manfaat dari KK I. Dalam perjalanannya, Freeport telah berkembang menjadi salah satu raksasa dalam industri pertambangan dunia, dari perusahaan yang relatif kecil.
Hal
ini sebagian besar berasal dari keuntungan yang spektakuler sekaligus
bermasalah yang diperoleh dari operasi pertambangan tembaga, emas, dan perak di
Irian Jaya, Papua.
KK I dengan Freeport ini terbilang sangat longgar, karena hampir sebagian besar materi kontrak tersebut merupakan usulan yang diajukan oleh Freeport selama proses negosiasi, artinya lebih banyak disusun untuk kepentingan Freeport. Dalam operasi pertambangan, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang proposional dengan potensi ekonomi yang sangat besar di wilayah pertambangan tersebut. Padahal bargaining position pemerintah Indonesia terhadap Freeport sangatlah tinggi, karena cadangan mineral tambang yang dimiliki Indonesia di wilayah pertambangan Papua sangat besar bahkan terbesar di dunia. Selain itu, permintaan akan barang tambang tembaga, emas dan perak di pasar dunia relatif terus meningkat.
Dengan kondisi cadangan yang besar, Freepot memiliki jaminan atas future earning. Apalagi, bila ditambah dengan kenyataan bahwa biaya produksi yang harus dikeluarkan relatif rendah karena karakteristik tambang yang open pit.
KK I dengan Freeport ini terbilang sangat longgar, karena hampir sebagian besar materi kontrak tersebut merupakan usulan yang diajukan oleh Freeport selama proses negosiasi, artinya lebih banyak disusun untuk kepentingan Freeport. Dalam operasi pertambangan, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang proposional dengan potensi ekonomi yang sangat besar di wilayah pertambangan tersebut. Padahal bargaining position pemerintah Indonesia terhadap Freeport sangatlah tinggi, karena cadangan mineral tambang yang dimiliki Indonesia di wilayah pertambangan Papua sangat besar bahkan terbesar di dunia. Selain itu, permintaan akan barang tambang tembaga, emas dan perak di pasar dunia relatif terus meningkat.
Dengan kondisi cadangan yang besar, Freepot memiliki jaminan atas future earning. Apalagi, bila ditambah dengan kenyataan bahwa biaya produksi yang harus dikeluarkan relatif rendah karena karakteristik tambang yang open pit.
Demikian
pula emas yang semula hanya merupakan by-product, dibanding tembaga, telah
berubah menjadi salah satu hasil utama pertambangan.
Freeport sudah sejak lama berminat memperoleh konsesi penambangan tembaga di Irian Jaya. KK I Freeport disusun berdasarkan UU No 1/67 tentang Pertambangan dan UU No. 11/67 tentang PMA. KK antara pemerintah Indonesia dengan Freeport Sulphur Company ini memberikan hak kepada Freeport Sulphur Company melalui anak perusahaannya (subsidary) Freeport Indonesia Incorporated (Freeport), untuk bertindak sebagai kontraktor tunggal dalam eksplorasi, ekploitasi, dan pemasaran tembaga Irian Jaya. Lahan ekplorasi mencangkup areal seluas 10.908 hektar selama 30 tahun, terhitung sejak kegiatan komersial pertama. KK I mengandung banyak sekali kelemahan mendasar dan sangat menguntungkan bagi Freeport.
Freeport sudah sejak lama berminat memperoleh konsesi penambangan tembaga di Irian Jaya. KK I Freeport disusun berdasarkan UU No 1/67 tentang Pertambangan dan UU No. 11/67 tentang PMA. KK antara pemerintah Indonesia dengan Freeport Sulphur Company ini memberikan hak kepada Freeport Sulphur Company melalui anak perusahaannya (subsidary) Freeport Indonesia Incorporated (Freeport), untuk bertindak sebagai kontraktor tunggal dalam eksplorasi, ekploitasi, dan pemasaran tembaga Irian Jaya. Lahan ekplorasi mencangkup areal seluas 10.908 hektar selama 30 tahun, terhitung sejak kegiatan komersial pertama. KK I mengandung banyak sekali kelemahan mendasar dan sangat menguntungkan bagi Freeport.
Kelemahan-
tersebut utamanya adalah sebagai berikut:
(1) Perusahaan yang digunakan adalah Freeport Indonesia Incorporated, yakni sebuah perusahaan yang terdaftar di Delaware, Amerika Serikat, dan tunduk pada hukum Amerika Serikat. Dengan lain perkataan, perusahaan ini merupakan perusahaan asing, dan tidak tunduk pada hukum Indonesia.
(2) Dalam kontrak tidak ada kewajiban mengenai lingkungan hidup, karena pada waktu penandatanganan KK pada tahun 1967 di Indonesia belum ada UU tentang Lingkungan Hidup. Sebagai contoh, akibat belum adanya ketentuan tentang lingkungan hidup ini, sejak dari awal Freeport telah membuang tailing ke Sungai Aikwa sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.
(3) Pengaturan perpajakan sama sekali tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Perpajakan yang berlaku, baik jenis pajak maupun strukturnya. Demikian juga dengan pengaturan dan tarif depresiasi yang diberlakukan. Misalnya Freeport tidak wajib membayar PBB atau PPN.
(4) Tidak sesuainya struktur pajak maupun tarif pajak yang diberlakukan dalam KK I dirasakan sebagai pelanggaran terhadap keadilan, baik terhadap perusahaan lain, maupun terhadap Daerah. Freeport pada waktu itu tidak wajib membayar selain PBB juga, land rent, bea balik nama kendaraan, dan lain-lain pajak yang menjadi pemasukan bagi Daerah.
(1) Perusahaan yang digunakan adalah Freeport Indonesia Incorporated, yakni sebuah perusahaan yang terdaftar di Delaware, Amerika Serikat, dan tunduk pada hukum Amerika Serikat. Dengan lain perkataan, perusahaan ini merupakan perusahaan asing, dan tidak tunduk pada hukum Indonesia.
(2) Dalam kontrak tidak ada kewajiban mengenai lingkungan hidup, karena pada waktu penandatanganan KK pada tahun 1967 di Indonesia belum ada UU tentang Lingkungan Hidup. Sebagai contoh, akibat belum adanya ketentuan tentang lingkungan hidup ini, sejak dari awal Freeport telah membuang tailing ke Sungai Aikwa sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.
(3) Pengaturan perpajakan sama sekali tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Perpajakan yang berlaku, baik jenis pajak maupun strukturnya. Demikian juga dengan pengaturan dan tarif depresiasi yang diberlakukan. Misalnya Freeport tidak wajib membayar PBB atau PPN.
(4) Tidak sesuainya struktur pajak maupun tarif pajak yang diberlakukan dalam KK I dirasakan sebagai pelanggaran terhadap keadilan, baik terhadap perusahaan lain, maupun terhadap Daerah. Freeport pada waktu itu tidak wajib membayar selain PBB juga, land rent, bea balik nama kendaraan, dan lain-lain pajak yang menjadi pemasukan bagi Daerah.
(5)
Tidak ada kewajiban bagi Freeport untuk melakukan community development.
Akibatnya, keberadaan Freeport di Irian Jaya tidak memberi dampak positif
secara langsung terhadap masyarakat setempat. Pada waktu itu, pertambangan
tembaga di Pulau Bougenville harus dihentikan operasinya karena gejolak sosial.
(6) Freeport diberikan kebebasan dalam pengaturan manajemen dan operasi, serta kebebasan dalam transaksi dalam devisa asing. Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal, antara lain: tax holiday selama 3 tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun berikutnya selama 7 tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Setelah itu pajak yang dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75%. Freeport juga dibebaskan dari segala jenis pajak lainnya dan dari pembayaran royalti atas penjualan tembaga dan emas kecuali pajak penjualannya hanya 5%.
Keuntungan yang sangat besar terus diraih Freeport, hingga Kontrak Karya I diperpanjang menjadi Kontrak Karya II yang tidak direnegosiasi secara optimal. Indonesia ternyata tidak mendapatkan manfaat sebanding dengan keuntungan besar yang diraih Freeport.
Perpanjangan Kontrak Karya II seharusnya memberi manfaat yang lebih besar, karena ditemukannya potensi cadangan baru yang sangat besar di Grasberg. Kontrak telah diperpanjang pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997. Pada kenyataannya ini adalah kehendak dari orang-orang Amerika di Freeport, dan merupakan indikasi adanya kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam proses negosiasi untuk mendapat keuntungan pribadi dari pertambangan di bumi Irian Jaya itu.
Kontrak Karya II tidak banyak mengalami perbaikan untuk memberikan keuntungan finansial tambahan yang berarti bagi pihak Indonesia. Perubahan yang terjadi hanyalah dalam hal kepemilikan saham dan dalam hal perpajakan. Sementara itu, besarnya royalti tidak mengalami perubahan sama sekali, meskipun telah terjadi perubahan jumlah cadangan emas.
Dalam Kontrak Karya II, ketentuan menyangkut royalti atau iuran eksploitasi/produksi (pasal 13), menjelaskan bahwa sistem royalti dalam kontrak Freeport tidak didasarkan atas prosentase dari penerimaan penjualan kotor (gross revenue), tetapi dari prosentase penjualan bersih. Rosentase royalti (yang didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih juga tergolong sangat kecil, yaitu 1%-3,5% tergantung pada harga konsentrat tembaga, dan 1% flat fixed untuk logam mulia.
(6) Freeport diberikan kebebasan dalam pengaturan manajemen dan operasi, serta kebebasan dalam transaksi dalam devisa asing. Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal, antara lain: tax holiday selama 3 tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun berikutnya selama 7 tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Setelah itu pajak yang dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75%. Freeport juga dibebaskan dari segala jenis pajak lainnya dan dari pembayaran royalti atas penjualan tembaga dan emas kecuali pajak penjualannya hanya 5%.
Keuntungan yang sangat besar terus diraih Freeport, hingga Kontrak Karya I diperpanjang menjadi Kontrak Karya II yang tidak direnegosiasi secara optimal. Indonesia ternyata tidak mendapatkan manfaat sebanding dengan keuntungan besar yang diraih Freeport.
Perpanjangan Kontrak Karya II seharusnya memberi manfaat yang lebih besar, karena ditemukannya potensi cadangan baru yang sangat besar di Grasberg. Kontrak telah diperpanjang pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997. Pada kenyataannya ini adalah kehendak dari orang-orang Amerika di Freeport, dan merupakan indikasi adanya kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam proses negosiasi untuk mendapat keuntungan pribadi dari pertambangan di bumi Irian Jaya itu.
Kontrak Karya II tidak banyak mengalami perbaikan untuk memberikan keuntungan finansial tambahan yang berarti bagi pihak Indonesia. Perubahan yang terjadi hanyalah dalam hal kepemilikan saham dan dalam hal perpajakan. Sementara itu, besarnya royalti tidak mengalami perubahan sama sekali, meskipun telah terjadi perubahan jumlah cadangan emas.
Dalam Kontrak Karya II, ketentuan menyangkut royalti atau iuran eksploitasi/produksi (pasal 13), menjelaskan bahwa sistem royalti dalam kontrak Freeport tidak didasarkan atas prosentase dari penerimaan penjualan kotor (gross revenue), tetapi dari prosentase penjualan bersih. Rosentase royalti (yang didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih juga tergolong sangat kecil, yaitu 1%-3,5% tergantung pada harga konsentrat tembaga, dan 1% flat fixed untuk logam mulia.
Pemasukan
37 Trilyun dari 1992-2006
Sejak tahun 1992-2006 total pemasukan Freeport kepada negara Indonesia adalah 37 Trilyun, dari hasil pembayaran Pajak Negara dan daerah. Sedangkan keuntungan Freeport adalah menyuplai 40 ribu ton Emas ke Amerika selama beroperasi.
2.3 Sistem Audit pada PT.FREEFORT.
Sejak tahun 1992-2006 total pemasukan Freeport kepada negara Indonesia adalah 37 Trilyun, dari hasil pembayaran Pajak Negara dan daerah. Sedangkan keuntungan Freeport adalah menyuplai 40 ribu ton Emas ke Amerika selama beroperasi.
2.3 Sistem Audit pada PT.FREEFORT.
Dewan Komisaris
PT Freeport Indonesia mengharuskan dilakukannya audit komprehensif untuk
memastikan sistem manajemen keselamatan berjalan efektif, tegas Daisy
Primayanti Vice President, Corporate Communications PT FI di Jayapura, Rabu
(12/6/2013).
“Audit ini berjalan efektif karena kelemahan yang
ada dapat teridentifikasi dan sumber daya yang ada telah digunakan untuk
mencapai tujuan perusahaan,” ujarnya.
Dia menjelaskan
audit independen yang dilakukan turut dilengkapi juga dengan audit keselamatan
internal dan inspeksi yang berfokus pada bahaya tertentu atau pada kegiatan
operasi yang performanya di bawah standar keselamatan.
“Program keselamatan perusahaan telah dirancang
untuk mengurangi insiden dan menghindari risiko kematian,” tukasnya.
Selain itu,
program keselamatan PTFI dirancang berdasarkan standar internasional tertinggi
dan juga termasuk sistem manajemen yang mengadaptasi praktik-praktik terbaik
dalam industri pertambangan internasional.
“PTFI memahami bahwa usaha pertambangan adalah
kegiatan yang berbahaya dan oleh karenanya kami telah mengambil langkah-langkah
yang diperlukan untuk mengurangi risiko kerja tersebut dan menjaga keselamatan
pekerja,” katanya.
Dia
mengungkapkan keselamatan adalah tanggung jawab langsung dari pihak manajemen,
bersifat instruksional yang harus dipatuhi dengan seksama dan harus dilaksanakan
oleh pekerja yang berada dalam struktur formal perusahaan.
“Pelaksanaan program keselamatan ini dimulai
dengan menjalankan kebijakan keselamatan dan kesehatan perusahaan,” urainya.
Tentang aspek
keselamatan yang diterapkan di perusahaan, menurut laporan Mine Safety and
Health Administration (MSHA) Amerika Serikat, pada 2012 jumlah Total Reportable
Incident Rate (TRIR) (termasuk kontraktor) adalah 0,29 per 200.000 jam kerja,
dibandingkan dengan rerata industri pertambangan logam yang mencapai 2,21. Selama
lima tahun terakhir, sejak 2008-2012, jumlah TRIR rerata PTFI adalah 0,32;
dimana pada periode waktu yang sama jumlah TRIR industri pertambangan logam
adalah 2,56, sesuai data MSHA.
PTFI merupakan
anak perusahaan dari Freeport-McMoRan Copper & Gold (FCX). FCX adalah
perusahaan penghasil tembaga terbesar di dunia milik publik yang memiliki
komitmen kuat terhadap keselamatan pekerjanya yang tersebar di berbagai negara
di dunia.
Berdasarkan UU 1/1970 tentang Pengawasan dan Pasal 87 dan 88
UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, jika dalam proses investigasi ini Pengawas
menemukan adanya kelalaian ataupun kesengajaan dari pihak PT FI untuk
mengabaikan prinsip-prinsip K3, maka sanksi yang dijatuhkan dapat berupa pidana
(kurungan dan denda), peringatan hingga penutupan perusahaan.
Kebijakan PTFI adalah untuk memberikan kesempatan bekerja
yang sama kepada seluruh masyarakat. PT Freeport Indonesia juga menjunjung
tinggi hak pekerja sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. PTFI juga
memiliki komitmen untuk melindungi hak asasi manusia dan sudah secara tegas
memberlakukan dan menegakkan kebijakan hak asasi manusia di dalam perusahaan.
PTFI memiliki Komitmen dan Kebijakan yang kuat dan tegas
terhadap Hak Asasi Manusia. Komitmen untuk menyediakan peluang bagi pembangunan
sosial, pendidikan, dan ekonomi yang dinyatakan melalui peraturan
ketenagakerjaan sosial dan kebijakan Hak Asasi Manusia.
Pada tahun 2011 PT Freeport Indonesia mempekerjakan lebih
dari 11.300 karyawan langsung dan lebih dari 12.000 karyawan kontraktor. Jumlah
karyawan langsung PTFI: 65,53% Non Papua, 32,91% Papua, dan 1,55% Asing
Jumlah karyawan PTFI + Perusahaan mitra dan kontraktor,
termasuk Institut Pertambangan Nemangkawi (IPN): 97,7% Indonesia, 2,30% Asing. Sejak
tahun 1996 perusahaan telah menggandakan jumlah karyawan Papua. Dalam 10 tahun,
jumlah karyawan Papua di tingkat staff meningkat 4 kali lipat, jumlah staf
karyawan Papua di tingkat supervisor 6x lipat. Karyawan Papua memegang fungsi
strategis manajemen di PTFI: 5 Vice President dan 74 Jajaran Manajerial.
Pada tahun 2003 dibangun Institut Pertambangan Nemangkawi
(IPN) untuk memberikan kesempatan mengembangan pengetahuan, keterampilan dan
sikap maupun perilaku yang profesional di bidang operasi dan penunjangnya.
Program magang 3 tahun dengan 4 bulan masa belajar off job dan 8 bulan on job.
IPN mengikuti standar nasional dan peraturan dari ESDM serta standar
internasional lainnya. 3.800 Siswa magang 20 Jenis keterampilan 90% siswa asli
Papua 1800 Siswa sudah bekerja di PTFI dan kontraktornya
Meningkatkan karyawan staff wanita di PTFI dan kontraktor:
12% tahun 2003 dan meningkat menjadi 14,4% di tahun 2011. PTFI berupaya
menciptakan lingkungan kerja yang aman dan kami menjadikan “Keselamatan sebagai
budaya” dalam organisasi PTFI. PTFI memiliki satu catatan terbaik dalam
industry sumber daya alam, tapi yang terpenting bagi PTFI adalah tidak
terjadinya kecelakaan.
PTFI dan SPSI telah menyelesaikan semua perselisihan upah
dan menandatangani Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang ke-17, Periode
2011-2013. Klausa di bawah PKB 2011-2013 telah memenuhi aspirasi para pekerja,
dengan peningkatan gaji pokok 40% efektif selama periode dua tahun.
2.4 Sistem Rekrutmen PT.FREEFORT
Rekrutmen
merupakan proses mencari, menemukan, dan menarik para pelamar
untuk dipekerjakan dalam dan oleh suatu organisasi.
Rekrutmen merupakan proses komunikasi dua arah. Pelamar-pelamar menghendaki informasi yang akurat mengenai seperti apakah rasanya bekerja di dalam organisasi bersangkutan.
Rekrutmen merupakan proses komunikasi dua arah. Pelamar-pelamar menghendaki informasi yang akurat mengenai seperti apakah rasanya bekerja di dalam organisasi bersangkutan.
Proses
rekrutmen memiliki beberapa tujuan, antara lain:
1. Untuk memikat sekumpulan besar pelamar kerja sehingga perusahaan akan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk melakukan pemilihan terhadap calon-calon pekerja yang dianggap memenuhi standar kualifikasi organisasi.
2. Tujuan pasca pengangkatan (post-hiring goals) adalah penghasilan karyawan-karyawan yang merupakan pelaksana-pelaksana yang baik dan akan tetap bersama dengan perusahaan sampai jangka waktu yang masuk akal.
3. Upaya-upaya perekrutan hendaknya mempunyai efek luberan (spillover effects) yakni citra umum organisasi haruslah menanjak, dan bahkan pelamar-pelamar yang ga k gal haruslah mempunyai kesan-kesan positif terhadap perusahaan.
Di perusahaan PT.FREEPORT menggunakan system Rekrutmen dengan tinggat eahlian yang di miliki, kemampuan, pengetahuan yang luas(wawasan), dan pendidikan. Pelamar bisa kesempatan untuk mencoba dalam membangun perusahaan yang di pimpin.
1. Untuk memikat sekumpulan besar pelamar kerja sehingga perusahaan akan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk melakukan pemilihan terhadap calon-calon pekerja yang dianggap memenuhi standar kualifikasi organisasi.
2. Tujuan pasca pengangkatan (post-hiring goals) adalah penghasilan karyawan-karyawan yang merupakan pelaksana-pelaksana yang baik dan akan tetap bersama dengan perusahaan sampai jangka waktu yang masuk akal.
3. Upaya-upaya perekrutan hendaknya mempunyai efek luberan (spillover effects) yakni citra umum organisasi haruslah menanjak, dan bahkan pelamar-pelamar yang ga k gal haruslah mempunyai kesan-kesan positif terhadap perusahaan.
Di perusahaan PT.FREEPORT menggunakan system Rekrutmen dengan tinggat eahlian yang di miliki, kemampuan, pengetahuan yang luas(wawasan), dan pendidikan. Pelamar bisa kesempatan untuk mencoba dalam membangun perusahaan yang di pimpin.
Karyawan sebagai sumber daya manusia
merupakan aset yang paling penting bagi perusahaan. Mendapatkan karyawan yang
sesuai dengan kriteria yang diharapkan merupakan kunci utama bagi kesuksesan
bisnis perusahaan. Manajemen Perekrutan (Recruitment management) adalah salah
satu proses dalam Administrasi Personalia (Personnel Administration) pada
departemen Human Resource Development (HRD) yang mendukung para pengambil
keputusan dalam menentukan sumber daya manusia yang sesuai untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kerja.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Keberadaan Freeport sejak kontrak karya
ke-satu ilegal dalam transparansi dan ketetapan pajak bagi negara. Hasil
Freeport baru diketahui secara resmi dan diatur dalam Undang-undang negara
Indonesia sejak kontrak karya ke-2. Nah, Kontrak karya pertama Freeport tahun
1967 sesungguhnya fiktif.
Indonesia sudah rugi sejak Freeport masuk. Sekarang pun tetap rugi karena konstitusi Negara mendukung emas dibawa ke Amerika dan negara Lainya di dunia.
Indonesia sudah rugi sejak Freeport masuk. Sekarang pun tetap rugi karena konstitusi Negara mendukung emas dibawa ke Amerika dan negara Lainya di dunia.
3.2 Saran
Memberikan kesempatan bekerja yang
sama kepada seluruh masyarakat. PT Freeport Indonesia juga menjunjung tinggi
hak pekerja sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. PTFI juga memiliki
komitmen untuk melindungi hak asasi manusia dan sudah secara tegas
memberlakukan dan menegakkan kebijakan hak asasi manusia di dalam perusahaan.
PTFI memiliki Komitmen dan Kebijakan yang kuat dan tegas
terhadap Hak Asasi Manusia. Komitmen untuk menyediakan peluang bagi pembangunan
sosial, pendidikan, dan ekonomi yang dinyatakan melalui peraturan
ketenagakerjaan sosial dan kebijakan Hak Asasi Manusia.
DAFTAR PUSTAKA
http://tayaa90.wordpress.com
kaka blognya lucu banget :3 boleh tau caranya?
BalasHapusjual peninggi dan pelangsing... hubungi 14045
BalasHapus